Cirebon — Jagat maya mendidih. Bukan karena kabar kemajuan desa atau prestasi kepemimpinan, tapi lantaran video seorang kepala desa di Cirebon yang terekam sedang “beraksi” di sebuah klub malam. Bukan menenangkan massa atau memberi sambutan resmi, melainkan menabur uang di udara, seperti bintang hiburan yang haus tepuk tangan.
Gambaran ini bukan sekadar memalukan—ia adalah simbol dari betapa kosongnya makna kepemimpinan bagi sebagian orang. Di saat rakyatnya masih berkutat dengan persoalan ekonomi dasar, pemimpinnya justru memilih bersenang-senang di ruang gelap penuh musik dan asap.
Tindakan tersebut menunjukkan betapa mudahnya sebagian pemegang kekuasaan terseret dalam euforia panggung sementara, lupa pada akar pijaknya. Uang yang ditebar, entah berasal dari kantong pribadi atau tidak, tetap menyisakan pertanyaan besar: di mana nurani seorang pelayan masyarakat?
Alih-alih menjadi penggerak perubahan, ia malah tampil sebagai pesolek kekuasaan—menikmati sorotan kamera, tapi menelantarkan harapan warganya. Saat seorang pemimpin menjadikan popularitas dan kemewahan sebagai tujuan, maka sudah pasti arah kepemimpinannya sedang melenceng.
Lebih menyedihkan lagi, bukan hanya tindakannya yang keliru, tapi juga diamnya pihak-pihak berwenang. Seolah aksi seperti itu adalah hal biasa. Seolah pemimpin desa berjoget dan menyebar uang di tempat hiburan tak lebih dari rutinitas akhir pekan.
Apakah kita sudah kehilangan standar moral dalam menilai pemimpin? Apakah jabatan kepala desa kini hanya menjadi tiket masuk ke kehidupan malam, bukan lagi tempat berjuang demi kepentingan orang banyak?
Publik punya hak untuk marah. Warga desa punya alasan kuat untuk kecewa. Karena yang mereka pilih bukan seorang pesulap panggung malam, tapi seseorang yang seharusnya turun tangan membenahi jalan rusak, memastikan distribusi bantuan, dan mendengar suara orang kecil.
Bila tak ada tindakan, tak ada klarifikasi, dan tak ada refleksi dari sang kades maupun pejabat di atasnya, maka bisa jadi aksi seperti ini hanya awal dari tontonan yang lebih memalukan.
Sudah saatnya pemimpin berhenti bermain peran. Desa bukan panggung hiburan. Dan rakyat bukan penonton yang bisa ditipu dengan aksi selembar-dua lembar uang beterbangan di udara.
Tinggalkan Balasan